Oleh : Dwi Wahyu Iskandar, M.Pd / Abu Uwais (Kepala Direktorat Keuangan dan Usaha Pesantren Islam Internasional Al-Andalus)
Nafasnya menderu-deru, rasa takutnya sudah memuncak, ini adalah akhir kehidupannya di dunia, pikirnya. Ia melihat pasukannya diceraiberaikan oleh Khalid bin Al-Walid. Siang itu Pedang Allah yang Terhunus (julukan bagi Khalid) berhasil mendobrak pertahanan pasukan Musailamah.
Dengan gagah berani Khalid menghempaskan para pasukan yang dipimpin nabi palsu itu dengan pedang yang ada pada tangannya, seakan-akan pedang itu menari-nari di tangannya menerjang musuh-musuhnya yang berada di hadapannya, sembari tangan yang lain memegang tali kekang kudanya yang juga sedang bergelora untuk mengalahkan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.
Mulai tahun ke-11 Hijriah adalah tahun yang penuh cobaan bagi umat Islam pasca wafatnya baginda Rasulullah ﷺ. Bermunculan gerakan-gerakan nyeleneh, murtadnya suku-suku arab, gerakan menolak untuk membayar zakat, ditambah gelombang manusia yang mengaku-ngaku nabi, serta Yahudi dan Nasrani yang mengangkat pemimpin bagi mereka sendiri.
Sejarah mencatat Perang Yamamah pada tahun ke-12 Hijriah adalah perang terbesar pada masa kepemimpinan Abu Bakar As-Shiddiq. Musailamah ‘Sang Pendusta’ yang berasal dari Bani Hanifah telah memproklamirkan dirinya sebagai nabi sudah sejak lama, yaitu di masa hidupnya Rasulullah.
Lalu siapakah Musailamah itu? Terdapat beberapa perdebatan mengenai nama aslinya. Salah sebuah sumber menyebutkan namanya adalah Maslamah bin Habib Al-Hanafi, sumber lain mengatakan Musailamah bin Tsumamah bin Habib Al-Hanafi, lahir dan besar di Al-Yamamah. Dia juga dijuluki sebagai Rahmanul Yamamah, berprofesi sebagai dukun yang melakukan ritual-ritual perdukunan dan sihir.
Musailamah Al-Kadzdzab semasa hidupnya banyak membuat sajak-sajak atau syair-syair untuk menandingi ayat-ayat suci Al-Qur’an. Suatu saat di tahun ke-9 Hijriah, ia pernah berkunjung ke Madinah untuk bertemu Rasulullah lalu ia meminta kepada Rasulullah ﷺ agar memberikan kepadanya gelar kenabian. Sebagai gantinya, Musailamah bersedia masuk Islam dan mengikuti ajaran Islam. Namun, Nabi menolaknya mentah-mentah.
Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah beliau mengirimkan ekspedisi militer dibawah kepemimpinan Khalid bin Al-Walid demi menumpas Musailamah dan para pengikutnya. Bahkan sebelumnya Abu Bakar mengutus Ikrimah bin Abi Jahl kemudian disusul oleh Syurahbil bin Al-Hasanah ke Al-Yamamah.
Seratus ribu pasukan telah disiapkan Musailamah. Dibawah komandonya, ia juga mengajak Sijah binti Al-Harist yang kemudian menjadi istrinya, seorang wanita Nasrani yang juga mengaku-ngaku sebagai nabi untuk bergabung bersamanya agar kekuatan mereka bertambah untuk mengalahkan kaum Muslimin.
Siang itu pasukan muslimin dibawah komando Khalid bin Al-Walid merangsek maju ke jantung pertahanan musuh. Pertempuran demi pertempuran di segala lini yang sangat dahsyat, sehingga diriwayatkan salah seorang sahabat yang bernama Tsabit bin Qois pemegang panji kaum Anshar membenamkan kakinya hingga separuh betis di dalam tanah untuk bertahan dari gempuran musuh-musuh Allah.
Semangat jihad kaum muslimin membuat pasukan kafir yang berjumlah besar itu tidak berdaya. Tidak berapa lama pertahanan orang-orang kafir tersebut ambruk, mereka lari tunggang langgang termasuk Musailamah yang kemudian mereka masuk ke dalam sebuah kebun yang dikelilingi pagar batu untuk bertahan, belakangan kebun ini disebut sebagai Hadiqatul Maut (Kebun Kematian).
Mereka bertahan sejadi-jadinya di kebun tersebut, hingga pada suatu kesempatan seorang sahabat Rasulullah yang bernama Al-Bara’ bin Malik berteriak,
Wahai kaum Muslimin lemparkanlah aku ke dalam kebun ini!!.”
Sejenak mereka berfikir bagaimana caranya agar kebun yang dipagari batu keliling dengan ketinggian yang melebihi ketinggian orang dewasa dan terkunci dari dalam itu dapat mereka masuki.
Hingga akhirnya Al-Bara’ dilemparkan ke dalam kebun tersebut dengan menggunakan tameng dan tombak pasukan dengan cara digotong bersama lalu dilempar dengan kuat ke dalam benteng, tidak berapa lama pintu masuk kebun-pun berhasil dibuka.
Terbukanya pintu membuat pasukan Khalid merangsek masuk ke dalam kebun hingga satu persatu kaum kafir tumbang, sampai akhirnya Wahsy melihat sebuah kesempatan dimana beliau telah mempersiapkan tombaknya untuk menjatuhkan Sang Nabi Palsu. Tombak tersebut melesat dari tangan Wahsy menuju tubuh manusia tua renta yang mengaku-ngaku sebagai nabi, akhirnya tombak itu mengenai dan menewaskan dirinya.
Pelajaran yang dapat diambil ialah tidak ada tempat dalam keyakinan kaum muslimin bagi mereka yang mengaku-ngaku Nabi setelah Muhammad Rasulullah ﷺ. Merupakan sebuah tindakan kemurtadan manusia-manusia yang mengaku sebagai Nabi setelah diutusnya Baginda Rasulullah ﷺ. (*)
Referensi:
Al-Bidayah Wa An-Bihayah, Ibnu Katsir
Huqbah Minnatarikh, Ustman Al-Khamis
https://sotor.com
www.Islamstory.com
www.Islamweb.net